Pemilu 2024 (Sebuah Refleksi Untuk Direformasi)

Editor;: Nurzaman Razaq (foto st)

MAKASSAR,PEMBELANEWS.COM – Kalau kita amati dari pemilu ke pemilu selalu melahirkan ketidak puasan banyak pihak. Bahkan sejak Pemilu Tahun 1955 dan Pemilu 1999 semua hampir sama, namun  sejarah mencatat bahwa Pemilu 1955 dan 1999 adalah Pemilu yang paling bersih dan jujur sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.

Dan untuk pemilu sejak 1999 hingga tahun 2024 ini, cukup banyak melahirkan ketidakpuasaan bahkan Pemilu 2024 ini dicatat sebagai pemilu yang dianggap paling buruk dan biasnya semakin membesar, dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.

Sehingga perlu dipertanyakan, ada apa sebenarnya ini. Apa ada yang perlu diperbaiki seperti aturan-aturan pemilu, pelaksanaan pemilu di waktu-waktu mendatang.Intinya, ssstem demokrasi yang perlu direformasi.

Di Pemilu 2024 ini, telah menjadi arena publik untuk berpendapat dengan sejumlah asumsi dan argument, yang bukan hanya pada persoalan Pilpres tetapi juga pada soal Pileg yang perhitungan suaranya dianggap ketidakpastian di balik perhitungan suara.  Sehingga menimbulkan kesan bahwa di balik perhitungan yang tak punya kepastian itu, sarat dengan kecurangan.

Begitu pula pada soal Pileg yang begitu sensitive yang hanya diikuti 3 pasangan calon (Paslon), yang meski telah melahirkan Presiden dan wakil Presiden RI yang akab dilantik tanggal 20 Oktober mendatang, namun itu masih penuh dengan kecurigaan di kalangan politisi dan lembaga komunitas yang merasa tidak puas atas hasil yang ditetapkan KPU dan Mahkamah Konstitusi.

Sehinga hal tersebut menimbulkan peikiran,gagasan dan pendapat mereformasi system perundangan-undangan yang berkaitaan  dengan pemilu di masa  mendatang. Sehingga demokrasi benar-benar bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan bersama.

MK Jangan Jadi Lembaga Kalkulator

Pada Pemilu 2014, persengketaan hasil pemilu tumpuannya hanya pada MK, Namun pada Pemilu 2024 ini, persengketaan pemilu tidak lagi tumpuannya pada MK semata. Yang meski hingga kini MK  dianggap sebagai lembaga kalkulator yang menghitung hasil perhitungan suara.

‘Padahal MK adalah lembaga yang bertumpu pada pemeriksaan persengketaan dari apa yang dihasilkan pada Pemilu 2024 itu. Mengenyampingkan hal-hal krusial atas indikasi keterlibatan pemerintah pada satu paslon.

Sejak tahun 2017, Pemerintah bersama DPR RI merevisi undang-undangan pengawasan pemilu. Seperti ada paswas, ada Bawaslu, ada Gakumdu untuk menangani soal pidana pemilu. Dan kalau semua lembaga ini sudah berjalan dan menangani sesuai dengan kewenangannya, dan ternyata masih terdapat persengketaan hasil, maka hal itu di arahkan ke MK. Kenapa bisa begitu?

Kalau soal penyelenggara pemilunya yang dianggap berbuat kecurangan, maka yang berwenang menanganinya adalah DKPPP. Oleh karena itu, MK sekarang ini bukan menjadi satu-satunya tumpuan. MK hanya berkewenangan untuk memeriksa dan mengadili soal hasil pemilu.sesuai dengan ketentuan Pasal 24c UUD 1994.

Sekarang ini ada pihak yang berkeinginan menyelesaikan perselisihan melalui Hak Angket di DPR RI, dan gugatan ke PTUN atas kecurangan Pemilu 2024.Namun hal itu tidak mungkin lagi bisa terwujud, lantaran telah terjadi kesepakatan koalisasi tiga parpol yang sebelumnya ngotot untuk hal angket.

Apalagi hak angket tidak bisa menyelesaikan soal pemilu. Pertama, Angket itu ditujukan kepada pemerintah. Kalau ditujukan kepada KPU, tentu KPU  adalah lembaga mandiri dan independen dan diluar pemerintah.Pemilu dilaksanakan oleh KPU. Sementara subyek Hak Angket adalah pemerintah.

Kedua, hasil Hak Angket bersifat rekomendasi ditujukan kepada Kejaksaan Agung, Kepolisian untuk dilakukan langkah hukum. Dan atau rekomendasi perbaikan tentang pelaksanaan pemilu. Sehingga Hak Angket sama sekali tidak bisa membatalkan hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU.

Artinya, kalaupun dianggap ada kecurangan hasil pemungutan dan perhitungan suara pemilu, persoalannya diselesaikan melalui MK. Dan keputusan MK bersifat mengikat dan final.Keputusan MK itu, sama sekali tidak bisa dibatalkan melalui Hak Angket.

Antara Hukum Dan Demokrasi, Bisakah Menyatu ?

Apa substansi gerakan reformasi dan demokratisasi yang dipicu oleh pergolakan dan demonstrasi mahasiswa pada Peristiwa Mei 1998? Menjelang Pilpres 2024, pertanyaan itu patut kembali dipertanyakan karena relevansi situasi dewasa ini. Menurut Editor, jawabannya adalah terwujudnya negara hukum  (rechtaataaf), bukan negara yang berdasarkan kekuasaan.

Demokrasi Indonesia adalah ”demokrasi konstitusional”, dan Indonesia adalah negara hukum yang membatasi kekuasaan pemerintah dengan undang-undang secara tegas dan jelas. Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, bukan negara kekuasaan yang otoriter.

Masalahnya sekarang, antara hukum dan demokrasi, bisakah menyatu???.Pertanyaan ini tentu memerlukan pembahasan tersendiri.(pembelanews.com)