Hukum  

Wisata Hutan Di Desa Gantarang, Bagaimana ?

Editor:Nurzaman Razaq

SINJAI,PEMBELANEWS.COM – Sejalan dengan tujuan pembangunan kepariwisataan, Pemerintah mengembangkan desa wisata yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta memajukan kebudayaan.

Pengembangan desa wisata juga merupakan salah satu bentuk percepatan pembangunan desa secara terpadu untuk mendorong transformasi sosial, budaya, dan ekonomi desa.

Karena itu, tiap daerah dan desa perlu mencermati potensi yang dimilikinya untuk diangkat dan dikembangkan agar memberikan nilai tambah manfaat serta menghasilkan produktivitas yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kaitannya dengan pengembangan wisata hutan, pada tahun 2020-2021 lalu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan  mengembangkan wisata hutan di Dusun Barue,Desa Gantarang,Kecamatan Sinjai Tengah,kabupaten Sinjai,Sulawesi Selatan, dengan pagu anggaran Rp1,2 miliar.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, .dari anggaran sebesar Rp1,2 miliar itu dibagikan kepada lima kelompok tani hutan di desa itu. Masing-masing  kelompok tani hutan mendapatkan Rp200 juta.Namun tidak dijelaskan nama kelompok tani hutan tersebut. Dan tidak diketahui kelompok tani hutan yang disebutkan itu,apakah masuk  dalam Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).

Sebelumnya, program pembangunan dan pengembangan wisata hutan di desa itu, diharapkan menjadi salah satu program unggulan dalam pembangunan daerah. Pembangunan wisata hutan tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menciptakan lapangan kerja di daerah.

Namun di balik kucuran anggaran sebesar itu, program wiata hutan di Desa Gantarang itu, dapat dibilang “mati suri” alias “mangkrak” alias “mandek tak tercapai sasaran dan harapan, sehingga dapat dibilang tidak sesuai dengan perencanaan awal.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, dari pembagian anggaran ke masing-masing kelompok tani hutan tersebut, selain untuk pekerjaan pembangunan wisata hutan sebesar Rp200 juta, juga terdapat anggaran  barang barang dan jasa yang diperuntukkan  pengadaan enam unit motor merk Caesar, mesin sens sebanyak enam biji, mesin gaharu satu unit, mesin penggilingan kompos satu unit, dan mesin pemotong rumput enam unit serta mesin penggilingan kopi satu unit.

Namun tidak diketahui, kelompok tani hutan mana yang mengelola wisata hutannya dan kelompok tani hutan mana yang menganggarkan prasarana barang dan jasa tersebut.

Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya khususnya statusnya, jumlahnya dan speack (apakah sesuai yang ditentukan RAB) serta keberadaan alat-alat mesin  saat ini, Dalam hal itu, perlu penelusuran bagaimana nasib mesin-mesin tersebut  kekinian.

Khusus program pembangunan wisata hutan, jauh sebelumnya dilaakukan pemantauan di lokasi, dimana terbangun satu mushallah, dua unit kasebo, pintu gerbang menuju lokasi wisata, satu paket WC umum, flay fox satu unit,

Dari hasil pantauan pada waktu itu, pekerjaan dapat dibilang kurang lengkap dan tidak sempurna (tidak selesai 100 persen) sebagaimana perencanaan awalnya. Yang  bila ditaksir hanya menghabiskan anggaran kurang dari Rp60 juta. Kini wisata hutan itu, tidak berfugsi dan tidak  bermanfaat sama sekali sebagaimana yang diharapkan.

Kesiimpulan yang dapat didalilkan dari pagu anggaran Rp1,2 miliar itu, terindikasi sarat masalah, diantaranya, pengadaan barang dan jasa bisa jadi tidak sesuai dengan speack/jenis/mereknya dan  jumlah pengadaan barangnya, terindikasi kurang, yang tentunya dapat didalilkan tidak sesuai dari rencana awal dan regulasinya..

Diketahui, proyek pekerjaan wisata hutan tersebut, lokasinya di atas bukit terjal dengan jalan berliku, jauh dari pandangan publik. Hal yang aneh, sejak terkucurnya  anggaran hingga pelakanaan kegiatan programnya, Kepala Desa Gantarang yang pernah ditemui, sama sekali tidak mengetahui dan apalagi dilibatkan.

Padahal,  komunikasi dengan para pihak.selama pelaksanaannya, semua pihak yang terkait dengan hutan harus terjalin komunikasi yang baik. Dengan Pemerintah Desa, Kecamatan, sampai Kabupaten. Bisa terkoneksi dengan KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai.

Dalam hal ini, diharapkan kepada pihak Aparat Penegak Hukum (APH) patut kembali menelusuri dan melakukan pemeriksaan dan pengembangan terhadap para pihak yang mengelola anggaran Rp1,2 miliar itu. Dan bisa jadi, selain kelompok tani hutan yang mengelola anggaran Rp1,2 miliar, terdapat pihak-pihak lain yang menjadi aktor intelektualnya yang mengarah terindikasi telah menimbulkan kerugian Negara. (pembelanews.com)

.