Problematika Pengelolaan Keuangan Desa !!

Editor:Nurzaman Razaq (foto ist)

Bia (kah) APH “Masuk Angin”

MAKASSAR,PEMBELANEWS.COM –  Banyak dan berulangkalinya dilaksanakan Bimbingan Tehnik (BimTek) oleh lembaga-lembaga terkait pengelolaan dan pengawasan keuangan desa untuk pencegahan penyimpangan, bukan jaminan bisa meningkatkan kompetensi kepala desa/aparatur desa agar kompeten dan profesional.

Meningkatkan kualitas kepala desa/aparatur desa dalam pemerintahan desa yang baik, bersih dan transparan, serta meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan desa, agar terhindar dari penyalahgunaan keuangan Negara, sekali lagi bukan jaminan dari hasil ikut serta dari kegiatan BimTek.

Kalaupun hanya untuk sekedar untuk mengetahui keikutsertaan pada kegiatan BimTek, sah-sah saja. Yang jadi soal, implementasi keikutsertaannya utamanya dalam hal pelaksanaan penerapan hukum dalam mengelola dana desa.

Hasil pengamatan mengenai pengelolaan keuangan desa menunjukkan, adanya permasalahan dan kendala yang berbeda-beda dalam setiap desa. Tercatat dalam beberapa tahun terakhir pasca terbitnya sejumlah peraturan dan perundang-undangan tentang desa dan keuangan desa disebutkan bahwa, beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pengelolaan keuangan desa antara lain, rendahnya keahlian sumber daya manusia (SDM), kurangnya pengawasan dan kepemimpinan, serta kurangnya pemahaman dan pengimplementasian terhadap peraturan yang berlaku.

Meski begitu, terdapat juga desa-desa yang berhasil mengelola keuangan mereka dengan baik. Penelitian menunjukkan bahwa, peran perangkat desa dan pemahaman yang baik terhadap peraturan dan prosedur pengelolaan keuangan desa, menjadi faktor penting dalam keberhasilan pengelolaan keuangan desa.

Oleh karena itu agar pengelolaan keuangan desa dapat berjalan lebih efektif dan efisien, serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas suatu desa, maka dipandang perlu melalui piranti Permendagri  Nomor 73 Tahun  2000 Tentang Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa dan Undang-Undang (UU) 3/2024 tentang Desa serta peraturan lainnya yang punya kaitan dengan keuangan desa dan pengawasannya

Hal lain yang menjadi problmatika dalam pengelolaan dana desa yakni, ketidakpastian menerapkan hasil yang pernah ditetapkan dalam penyusunan RPJMDes dan RKPDes, yang sering dijumai ketidak singkronan dalam penjabarannya di APBDes yang di tahun berjalan. Sehingga bisa dibilang, pengelolaan keuangan desa berjalan secara tidak transparan, tidak akuntabel, tidak tertib dan tidak disiplin anggaran terlebih tidak bernuansa partisipatif dalam pelibatan masyarakat.

Secara umum dapat juga dibilang, pengelolaan keuangan desa belum menyentuh piranti kebutuhan masyarakatnya. Lebih berkutat pada pemanfaatan keuangan desa untuk kebutuhan perangkat desa, Tim PKK,lembaga-lembaga desa serta kelompok-kelompok yang dibentuk yang nota bene untuk pemberdayaan masyarakat.

Sementara dalam hal pembinaan masyarakat, tingkat penyaluran kebutuhannya, dapat lagi dibilang kurang optimal. Terkesan hanya dibungkus dalam kemasan pembangunan infrastruktur rabat jalan permukiman, tabat jalan perkebunan, dekker, sanitasi air bersih serta pengadaan peralatan asset desa/

Yang kesemuanya itu mudah terbaca lebih berfokus pada “asal dikerja” tanpa lagi memprlihatkan segi mutu dan kuaitas pekerjaan. Dan lebih mudah “dipermainkan” pada sisi volume, tehnis pekerjaan, anggaran yang secara umum “salah” dalam perencanaan.

Problematika Yang Krusial.

Yang harus dipahami, secara khusus, keuangan desa itu meliputi perencanaan sampai dengan pertanggungjawaban dalam keuangan desa. Dalam hal ini berarti pengelolaan desa merupakan aspek penting dalam pelaksanaan kewenangan dan pembangunan desa.

Akan tetapi, pada kenyataannya pengelolaan keuangan desa seringkali menjadi masalah yang begitu kompleks dan sulit untuk ditangani. Beberapa masalah tersebut dapat dilihat dari beberapa faktor diantaranya perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban.

Dalam faktor perencanaan, permasalahan yang sering terjadi adalah tidak adanya rencana kerja dan anggaran yang disusun secara partisipatif dan terpadu,Rencana kerja yang sudah terpola, sementara anggaran disusun secara internal, tidak secara partisipatif. Sehingga dapat dibilang, minimnya pemahaman tentang perencanaan keuangan desa.

Pada faktor pelaksanaan, permasalahan yang sering terjadi adalah lemahnya pengendalian dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran, sehingga seringa terjadi penyalahgunaan anggaran yang merugikan masyarakat.

Pada faktor penatausahaan, permasalahan yang sering terjadi adalalah minimnya kepatuhan terhadap aturan dan prosedur, serta kurangnya pemahaman tentang pegelolaan keuangan desa.

Pada faktor pelaporan, permasalahan yang sering terjadi adalah tidak adanya laporan keuangan yang disususun secara akuntabel dan transparan. Pada faktor pertanggungjawaban, permasalahan yang sering terjadi adalah minimnya tanggungajawab terhadap penggunaan anggaran desa kepada masyarakat.

Perlu Pengawasan Ekstra.

Dengan peningkatan kapitasi kepala desa dan unsur perangkatnya serta BPD nya sebagai lembaga yang bukan hanya sebagai mitra kerja dalam penyelenggaraan pemeriintahan desa, melalui berbagai model BimTek yang diikutiinya, diperlukan memperkuat peran dan fungsi yang bukan hanya pengawasan tetapi juga fungsi dan peran pengawalan.

Salah satunya yakni fungsi dan peran pengawasan dan pengawalan melalui program Jaga Desa atau Jaksa Garda Desa, di bawah komando Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), yang menjadi fokusnya adalah pada sektor penggunaan keuangan dana desa dengan tetap mengacu pada UU Desa.

Setelah adanya perubahan UU Desa nomor 3/2024, pada pokoknya kejaksaan tetap memiliki kewenangan dalam fungsi pengawasan keuangan desa, baik dana desa (DD) yang bersumber dari APBN (Anggaran Pendapat dan Belanja Negara), alokasi ADD dari APBD, Dana Bagi Hasil, dana bantuan provinsi maupun kabupaten, dan lain-lain keuangan desa.

Potret bagaimana dana desa merupakan sasaran strategis yang menyentuh langsung kepada lini dasar, menjadi fundamental kekuatan ekonomi perdesaan yang harus tetap terjaga.

Sehingga APH yang merupakan bagian dari pemerintah, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan dana desa tepat sasaran, sekaligus sebagai upaya pencegahan terjadinya penyimpangan dalam penggunaan dana desa tersebut.

Disamping program Jaga Desa yang merupakan realisasi dari tanggung jawab kejaksaan dalam usaha pencegahan terjadinya penyimpangan tersebut, juga pelibatan pihak kepolisian, Inspektorat, BPK dan KPK,serta BPKP, tentunya diperlukan, termasuk fungsi dan peran pelibatan media pers dan Lsm serta lembaga organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan lainnya.

Laporan pertanggungjawab (Lpj) yang disampaikan kepala desa melalui pemerintahan kecamatan, yang dibacakan di suatu forum musyawarah desa setiap tahunnya, bukan berarti sudah tidak ada masalah hukum di balik Lpj tersebut.

Sehiingga dalam hal ini, fungsi dan peran masyarakat melalui media dan Lsm lah yang punya andil menemukan indikasi adanya penyimpangan.Mengingat, tanpa adanya laporan dari masyarakat, fungsi dan peran Aparat Penegak Hukum (APH), tak mampu berjalan sebagaimana mestinya.

Permasalahan yang begitu kompleks mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban, patut diawasi dengan kenyataan fakta  lapangan. Selama ini, antara teori dan kenyataan dilapangan berbanding terbalik.

Disinilah keuntungan bagi aparat desa akan lolos dari jeratan hukum, manakala tidak disesuaikan  dengan fakta lapangan, antara belanja dan hasil belanja yang dikaitkan dengan speck dan hasil kerja fisik.

Sebagai catatan, hampir setahun berlalunya tahun 2024, hamper dipastikan tidak bergaung adanya laporan dugaan penyimpangan yang masuk ke APH. Sebagai contoh saja, di Kabupaten Sinjai. hanya contoh

Kenapa bisa begitu, salah satu faktornya barangkali, “APH sudah masuk angin”. Terkesan APH  berfokus pada dugaan penyimpangan yang bernilai miliaran yang dilakukan pihak OPD baik berasal OPD Kabupaten/provinsi bahkan proyek yang digelontorkan Kementrian ke daerah-daerah.

Kalaupun benar APH “masuk angin”, sepertinya ada suatu “kekuatan” yang seakan-akan system pengelolaan keuangan desa “terlindungi”, terkesan ada unsur “pembiaran”. Kenapa bisa begitu. Itu bukan rahasia umum lagi.

Sekali lagi, peran masyarakat perlu aktif dalam mengawasi dan memantau pelaksanaan pengelolan keuangan desa serta aktif dalam melaporkan indikasi pelanggaran itu. Kalau APH di tingkat kabupaten “masuk angin“, masih ada APH di tingkat provinsi dan Pusat, meski itu yang dilaporkan Dana Desa yang diduga dikorupsi, Laporkan !!.Karena di balik dana desa, ada tahta, dana dan hukum.(berbagai sumber)