Opini  

Mengapa Politik Uang Masih Terjadi Walau Sudah Ada UU ? Apa Kata Dunia

Editor :Nurzaman Razaq (foto ist)

Lantas bagaimana dengan netralitas ASN ?

MAKASSAR,PEMBELANEWS.COM – Politik uang atau money politic gaungnya terdengar viral pada setiap perhelatan ;Pemilu, termasuk Pilkada serentak 2024 yang usai digelar, Rabu (27/11//20240 lalu.

Politik uang punya peran untuk menggaet nurani rakyat sebagai transaksi suara rakyat dalam proses politik electoral dan menjadikan sebagai intrumen  imbalan materi di perhelatan politik..

Dalam Islam, politik uang identik dengan konsep risywah (suap), yakni penggunaan uang/ harta untuk mendapatkan keuntungan secara tidak layak dari keputusan atau tindakan seseorang.  Dengan kata lain, praktik penggunaan kekuatan finansial untuk membeli suara rakyat guna memenangkan proses pertarungan politik

Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH mengatakan baik dari sisi politik kenegaraan maupun dalam Islam, politik uang merupakan ini suatu kejahatan, bukan sekedar pelanggaran, karena dipandang merendahkan harkat kemanusiaan dan mengancam keberlangsungan suatu peradaban. 

Dr Rifqi menambahkan, bahwa dalam konteks politik elektoral, politik uang akan sangat mempengaruhi hasil dari Pilkada. Terlebih akhir – akhir ini, kualitas demokrasi di Indonesia secara umum dan di daerah khususnya mengalami pemerosotan.

Dalam konteks Pilkada,,  penggunaan politik uang terbukti efektif, karena proses pembuktiannya terbilang sulit dan pelik. Mengingat tidak banyak masyarakat lokal yang malah berbahagia dengan proses transaksi politik yang terjadi.Karena tanpa transaksi seperti itu, kepastian untuk memilih masih diragukan.Sehingga keraguab masyaraat seperti itu, dpandang perlu ada transaksi elekgtoral.

Kurang Efektif.

Muncul pertanyaan, mengapa politik uang bisa terjadi, sementara sudah ada beberapa Undang – Undang (UU)  yang mengatur tentang larangan atas praktek poltik uang, seperti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum: Pasal 278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, Pasal 284, Pasal 286 ayat (1), Pasal 515, Pasal 523. Dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada: Pasal 73, dan Pasal 187A

Kalau dicermati, keberadaan UU Pemilu dan UU Pilkada merupakan  instrumen untuk mengatur jalannya kontestasi yang terbilang efektif. Namun jika dikaitkan dengan efektivitas dalam menanggulangi, apalagi mengurangi praktek politik uang, bizsa jadi belum  cukup bukti untuk menyatakan, bahwa instrumen pengaturan itu efektif,

Menurut Dr Rifqi, efektifitas hukum tidak cukup hanya didasarkan pada adanya peraturan perundang-undangan yang baik. Karena untuk bekerjanya perundang-undangan sebagaimana mestinya, diperlukan struktur (penegakan) hukum yang kuat dan efektif, serta budaya hukum dalam masyarakat yang mendukung terpenuhinya tujuan dan cita hukum dalam undang-undang. 

Ia mengatakan, “Permasalahannya sebagaimana diatas, struktur hukum yang bertanggung jawab atas penegakan hukum terbilang lemah. Di sisi lain, budaya hukum kepemiluan kita sudah terlanjur permisif terhadap praktek jual-beli suara,”.

Struktur penegak hukum Pemilu/ Pilkada yang lemah dalam proses pengawasan dan penegakan hukum, menjadi akar masalah bagi menjamurnya politik uang. 

Tentang Netralitas ASN

Fenomena lain yang muncul di Pemilu/Pilkada selain soal politik uang, yakni soal tidak netralnya ASN yang bisa jadi saling bergandengan. Dimana kekuatan finansial yang bisa saja diarahkan kepada masyarakat umum, akan lebih bisa diperkuat dengan keterlibatan lingkup Kementrian dan atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Imbaun sejumlah kepala daerah, agar senantasa menjaga netralitas pada lingkup ASN, bisa saja sebagai slogan kaitannya  agar menjadikan Pemilu/Pilkada terlihat adil, transparan, dan bermartabat.

Netralitas ASN merupakan salah satu aspek penting dalam menjaga integritas dan profesionalisme ASN dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

ASN harus tetap netral dan tidak terlibat dalam kegiatan politik yang bertentangan dengan perannya sebagai pelayan masyarakat. ASN adalah pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. ASN dipilih dan diangkat untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja pada instansi pemerintah.

PNS merupakan warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Sedangkan, PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan.

Dengan demikian, pengertian ASN adalah semua pegawai pemerintah baik yang berstatus sebagai PNS maupun PPPK. Setiap PNS merupakan ASN, namun tidak semua ASN adalah PNS karena bisa jadi berstatus sebagai PPPK, sebagaimana diagtur Dallam UU Nomofr 5 Tahun 2014 tentang Fungsi, Tugas, dan Peran ASN, 

Yang pastinya, UU no 20 Tahun 2023 tentang ASN dengan tegas menyatakan tentang asas netralitas ( pasal 2 huruf f ) dengan penjelasannya, yaitu Setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Semoga di daerah kita ini, tidak terjadi hal seperti adanya indikasi politik uang yang digandengkan untuk penguatan dukungan secara “senyap” dari lingkup OPD, sebagai bentuk keberlanjutan pemerintahan sebelumnya.(pembelanews.com)