Meski Diduga Ngidap Gangguan Kejiwaan, Bukan Berarti Kasus Tindak Pidananya Bisa Di SP3 Kan

Editor : Nurzaman Razaq (foto ist)

MAROS,PEMBELANEWS.COM – Peristiwa yang nyaris meregang nyawa salah satu warga di salah satu dusun di Desa Cenrana Baru, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, patut mendapat perhatian serius dari pihak kepolisian setempat.

Peristiwa yang terjadi Minggu, (29/12/2024) pagi lalu itu, secara tiba-tiba pelaku berinisial Bs dengan parang di tangannya memasuki kediaman korban berinisial H.Nw langsung menebas korban pada bagian muka, telinga hingga mulut robek, paha hingga terlihat tulang serta beberapa luka bagian dada. Keluarga yang tidak tahu apa masalahnya, hanya melihat peristiwa nahas itu, tak berdaya untuk membantu atau melerai peristiwa penebasan itu.

Usai melakukan penebasan itu, pelaku langsung melarikan diri, dengan meninggalkan korban bersimbah darah. Dengan kondisi yang sekarat itu, korban dilarikan oleh keluarga ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Salewangeng, Kabupaten Maros

Pada minggu pagi itu, salah satu keluarga korban melaporkan peristiwa tersebut di kepolisian setempat, dengan sigap pelaku langsung diamankan beberapa hari di balik jeruji untuk dimintai keterangannya.

Dalam situasi perawatan terhadap korban di rumah sakit dengan telah mengeluarkan Rp20 juta lebih, berhembus kabar kalau pelaku mengallami gangguan kejiwaan,sehingga diperlukan rekam medis di Rumah Sakit Umum Dadi, Makassar.

Meski hasil rekam medis menunjukkan keterangan bahwa pelaku mengalami gangguan kejiwaan yang kini masih dalam perawatan di rumah sakit tersebut, bukan berarti kasus tersebut dapat dihentikan begitu saja oleh pihak kepolisian.

Merasa Tertekan.

Ironisnya, pada situasi diselimuti kesedihan, keluarga yang masih mendampingi korban di rumah sakit, merasa tertekan dengan adanya pihak yang mengaku wartawan dari keluarga pelaku mendatangi rumah sakit mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan kepada keluarga korban. “tidak ada damai, biaya pengobatan dari rumah sakit itu palsu,” begitu salah satu ucapannya mengutip penjelasan salah satu keluarga korban.

Ironi memang, yang justru seharusnya mendatangi korban di rumah sakit menjenguk sembari mencari upaya penyelesaian yang terbaik di balik peristiwa penebasan itu. Berbanding terbalik dengan arogansinya menagku seorang wartawan.

Polisi Patut Tangani Serius

Meski ditengarai telah dikeluarkan surat keterangan kesehatan jiwa (SKKJ) hasil pemeriksaan di rekam medis Rumah Sakit Umum Dadi Makassar, bukan berarti kasus ini dapat dihentikan begitu saja oleh pihak kepolisian.

Sekembalinya pelaku dari pemeriksaan kejiwaan, patut kembali masuk dalam pengawasan pihak kepolisian di jeruji sel tahanan. Hal ini patut dilakukan , dikhawatirkan akan berkeliaran bebas dan dapat saja mengulangi perbuatan yang sama terhadap orang lain, dan atau adanya komplik  di tengah masyarakat.

Memang diakui bahwa, orang yang mengalami gangguang kejiwaan atas diagnosa rekam medis dan telah melakukan tindak pidana lriminal secara ,tidak dapat dipidana. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 44 KUHPidana. Meski begitu, patut pula mengacu pada pasal 434 KUH Perdata.

Penyidik Tidak Berwenang Lepas Pelaku

Yang harus dipahami secara hukum, Penyidik kepolisian yang menangani kasus tersebut, sama sekali tidak berwenang untuk melepaskan pelaku yang meski diduga mengalami gangguan kejiwaan. Tetap dilanjutkan ke proses hukum melalui tahapan hukum dengan melimpahkan berkas kasusnya ke pihak Kejaksaan untuk proses hukum persidangan di pengadilan.

Hal ini karena melepaskan pelaku karena diduga mengalami gangguan jiwa, bukan merupakan alasan dilakukannya penghentian penyidikan sehingga penyidik melepaskan pelaku.

Yang berhak menentukan pelaku tindak pidana itu mengalami gangguan kejiwaan kemudian pelaku tersebut tidak dapat dihukum adalah hakim pada persidangan pengadilan berdasarkan bukti-bukti yang ada, salah satunya dengan mendengar keterangan ahli.

Ketidakpastian penerapan Pasal 44 KUHP dalam kasus pembunuhan oleh pelaku yang terganggu jiwanya merupakan, isu utama dalam kasus tersebut. Dalam praktik hukum, pemeriksaan kondisi kejiwaan pelaku tindak pidana kriminal yang mengaku atau terindikasi menderita gangguan kejiwaan (ODGJ) dilandaskan pada keterangan ahli jiwa, baik melalui pemeriksaan psikiatri forensik maupun psikologi forensik. Keterangan ahli jiwa dalam hal ini pada fase pemeriksaan pra-ajudikasi tidak selalu berujung pada penghentian perkara atau SP3.

Ditengarai bahwa keputusan untuk menghentikan perkara sangat tergantung pada diskresi hakim. Rekomendasi yang hendak diajukan adalah reformulasi Ketentuan Pasal 44 KUHP.(pembelanews.com)