MAKASSAR,PEMBELANEWS.COM – Suprapto, semasa menjabat sebagai Wakil Sekertaris Jendral PWI Pusat dalam tulisannya berjudul “Media Sosial: Hoax, Pedang Bermata Dua, (2019)” menukilkan tentang munculnya satu kekuatan atau kekuasaan kelima yang bersumber dari lahirnya ‘media sosial’ atau ‘soscial media’.
Pengguna media sosial, biasa disebugt nitizen (warganet), menurut Redaktur Warta Kota ini, telah menjelma menjadi sebuah kekuatan atau kekuasaan. Para nitizen sebagai anggota komunitas, yang memiliki suara kuat untuk mempengaruhi publik, tentu tidak akan menggantikan posisi media pers,tetapi justru menambahnya.
Geoff Livingston dalam bukunya berjudul welcome to the fifth estate, yang berisi fenomena munculnya pengaruh media sosial telah mengambil perannya dalam pencampuran media yang lebih besar. Media sosial telah menjadi kekuatan atau kekuassaan kelima.
Sekarang dengan berkembagnya tehnologi internet yang melahirkan media baru dan jejaring sosial online, mampu menciptakan dunia di mana pendekatan media massa (pers) yang berdifay top down atau satu arah , tidak lagi berfungsi.
Pendekatan ini sudah ditinggalkan .Kini komunikasi bersifat menyebar dan siapa saja bisa memproduksi informasi atau berita. Dunia seperti dalam genggaman.
Thomas I.Fredman menyebut the world is flat (2007), atau dunia semakin rata sehingga setiap orang, siapa saja dengan latar belakang apa saja, bisa mengakses apapun dari sumber manapun secara real time. Para nitizen ini tak hanya sekadar konsumen, mereka juga bisa menjadi produsen. Mereka adalah sebuah kekuatan baru.
Kalau dicermati, the fifth estate sekaligus dapat melengkapi istilah fourth estate (kekuatan keempat) yang sebelumnya yang lebih dulu ada, Istilah kekuatan atau kekuasaan keempat, mengacu pada media pers (media massa) yang nemiliki kekuatan dalam membingkai isu-isu politik untuk mempengaruhi publik dan pemegang kekuasaa lainnya.
Meskipun tidak secara formal diakui sebagai bagian dari sistem ;politik, the fourth estate memiliki peran melakukan sosial secara tidak langsung yang signifikan. Karena memiliki peran melakukan kontrol terhadap pemerintahan atau pemegang kekuasaan, maka pada akhirnya abad sekarang ini, the fourth estate atau kekuatan keempat mendapat julukan sebagai pengawas atau pengontrol pemerintahan kekinian.
Pada era tehnologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti sekarang ini, media sosial berkembag sangat massif dan menjelma menjadi sebuah kekuatan atau kekuasaa yang mampu mengimbangi empat kekuaan sebelumnya.
Kini, aktivitas generasi milineal lebih banyak membaca media sosial dibanding media massa konvensional. Sebanyak 50 persen lebih generasi milineal mengakses media sosial setiap harridan hanya 9.5 persen yang membaca media pers(surveyCSIS,November 2017).
Para generasi milineal inijuga lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengakses internet daripada membaca atau mengakses media pers. Karenanya ‘suara-suara berisik’ para nitizen kini tak bisa lagi dianggap buih di lautan.
Dalam dunia pemerintahan, ‘suara berisik’ para nitizen di media sosial babkan bisa mempengaruhi kebijakan publik,Para nitizen bisa menekan pemerintahan dan mengawal demokrasi melalui genggaman tangan.
Seperti halnya peristiwa ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang di-bully para nitizen gara-gara partainya menyetujui lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2024 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota, yang mengatur pelaksanaan Pilkada secara tidak langsung (kembali) oleh DPRD.
Bully tak hanya terjadi di dunia maya melalui berbagai meme yang seolah-olah menjadikan SBY sebagai Bapak anti demokrasi, tetapi juga di depan mata, Barisan Relawan Jokowi Presiden 2014 berdomentrasi menolak mekanisme Pilkada lewat DPRD. Mereka membawa piala penghargaan (tropi) bertuliskan “Bapa Anti Demorasi Award”kepada SBY di depan Istana Presiden(merdeka. Com, 30/9/2014).
Meme Anti Demokrasi muncul secara massif di media sosial sampai kemudian SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No1 Tahun 2014 yang mengembalikan Pilkada secara langsung oleh rakyat.
Termasuk kekinian di akhir masa jabatan Presiden Jokowi, soal demokrasi yang dinilai para ntizen kacau balau, putusan kontroversi MK soal peraturan/persyaratan calon Presiden/Wakil Presiden, yang sebelumnya soal tiga periode masa jabatan Presiden.
Hal ini dapa dimaknai, betapa tangan-tangan para nitezen turut telah menjadi kekuatan baru setelah kekuatan media pers. Para notozen dengan menggunakan media sosialnya telah secara jor-joran dan tanpa adanya ketaatan serta disiplin dalam mematuhi rambu-rambu hukum,
Maka yang terjadi adalah kekacauan atau informasi, korup dan terror terhadap publik. Hoax atau informasi bohong atau informasi salah pun beredar luas hampir setiap hari di berbagai group media sosial.
Kenyataan membuktikan, hoax tidak hanya pada peristiwa-peristiwa politik atau menyangkt figure publik tertentu, tetapi juga ketika terjadi sebuah bencana.
Trik atau modus hoax terus berkembang semakin canggih, seiring berkembangnya tehnologi.Hoax kini tak hanya berupa teks, foto atau video, tetapi juga perpaduan ketiganya, bahkan dilengkapi dengan info grafis sehingga seolah-olah benar-benar terjadi.
Berdasarkan hasil temuan yang diperoleh dari survey, maka Dailysocial menyimpulkan beberapa poin yaitu;(1).informasi hoax paling banyak ditemukan di platform facebook, WhatsApp dan Instagram.(2). Sebagian besar responden tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax,(3) mayoritas responen memilih untuk berdiam diri ketika menemui berta hoax.
Dari fenomena tersebut, perlu kiranya diketahui oleh publik bahwa telah terdapat Undang-Unndang Nomor 11 tahun 2028 tentang Informasi dan Transsaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU No.1 Tahun 2008 tentang UU ITE yang bisa menjerat nitizen dalam penyebaran hoax masuk bui, ketika memproduksi atau menyebarkan hoax.
Cuitan Di Medsos Bukan Sumber Berita
Media sosial (Medsos) atau jejaring sosial bukanlah sumber berita ataupun nara sumber fresmi dalam pemberitaan. Apa pun yang muncul di medsos hanya sebagai sumber informasi awal.
Jika ingin menjadikan informasi awal itu menjadi sebuah berita,maka wartawan atau jurnalis,wajib melakukan tugas utamanya yakni, verifiasi,klarifikasi dan konfirmasi.
Verifikasi berarti, wartawan harus melakukan pemeriksaan ulang tentang kebearan laporan, pernyaaan, perhitungan dan sebagainya.Intinya mengecek kembali informasi awal yang diterima untuk memastikan bahwa informasi itu benar dan layak disampaikan ke publik dalam bentuk berita.
Klarifikasi artinya, penjernihan, penjelsan dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya. Dalam kaitan cara kerja wartawan, klarifikasi hendaknya dlakukan kepada nara sumber yang kompoten, memiliki kewenangan, dan memahami atau mengetahui duduk persoalan yang terjadi.
Konfirmasi artinya, penegasan, pengesahan, atau pembenaran terhadapsebuah peristiwa atau informasi awal yang masih diragukan kebenarannta. Konformasi dilakukan kepada pihak yang disebut dalam informasi awal atau berita atau para pihak yang memiliki kompetensi atau kewenangan sebagai nara sumber.
Kenyataan saat ini, beberapa media pers mengangkat pemberitaannyahanya berdasarkan cuitan di medsos dengan mengabaikan tugas utamanya yakni verifikasi,klarifikasi dan konfrmasi.
Internet Bak Pedang Bermata Dua: Lengah Sedikit Bisa Terluka
Internet, sebenarnya sangat berpengaruh positifterhadap kehidupan manusia. Dalam pemerintahan misalnya, secara signfikan mampu meningkatkan pelayanan adminitrasi publik
Dapat dibilang, penggunaan internet sangat efektif dan efesien dan meningkatkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan pada usaha dan bisnis, mampu meningkatkan omset penjualan dan distribusi barang dan jasa.
Intinya, di kekinian justru akan tertinggal suatu kegiatan perkantoran, bisnis,perdagangan, pendidikan, komunikasi massa dan lainnya, jika tanpa menggunakan situs internet.
Namun pada sisi lainnya, internet tak luput bisa menjadi negative dalam penggunaannya. Sejumlah kasus penggunaan internet secara tidak benar, terjebat dalam ranah hukum.
Bahkann untuk kasus-kasus tertentu, pemilik akun sampai masuk penjara menjadi pesakitan di pengadilan akibat salah dalam menggunakan akun internetnya.
Sebagai peringatan, sejumlah jeratan pasal KUHP bisa menjerat pemilik akun internet bila salah dalam penyebarannya, diantaranya Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum pidana dan pasal 28 ayat 2 UU ITE, pasal 28 ayat 2 UU ITE.(dari berbagai sumber)