Editor : Nurzaman Razaq
SINJAI,PEMBELANEWS.COM – Tidak lama lagi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 akan digelar, tepatnya Rabu, 27 November 2024, dimana sebelumnya diawali sejumlah tahapan.
Tahapan itu, berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024.
Tahapan penyelenggaraan diawali dengan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan 5 Mei s.d. 19 Agustus 2024, pengumuman pendaftaran pasangan calon 24 s.d. 26 Agustus 2024, pendaftaran pasangan calon 27 s.d. 29 Agustus 2024, penelitian persyaratan calon 27 Agustus s.d. 21 September 2024.
Meski tahapan Pilkada belum dimulai, namun sejumlah figur mulai bermunculan yang digadang-gadang sebagai peserta`di Pilkada mendatang. Dan salah satu daerah yang akan menggelar Pilkada pada 27 November 2024 mendatang yakni Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
Sejumlah figur dimunculkan oleh masyarakat Sinjai yang bakal sebagai calon Bupati Sinjai. Lantas bagaimana dengan adanya sosok perempuan yang alim dan arif serta punya potensi dan pengalaman politik dan pemerintahan, dijagokan di Pilkada Sinjai 2024???
Kepemimpinan Perempuan.
Terlepas dari sosok perempuan yang dimaksud, Kepemimpinan perempuan hingga kini masih kontroversif dan dipandang perlu dikaji dari sisi pemaknaan ayat dalam teks keagamaan (Alquran). Karena realitas saat ini tidak bisa dipungkiri, bahwa banyak perempuan yang mampu menempatkan perannya setara dengan laki-laki. Perkembangan teknologi dan perkembangan pola pikir, mampu menggeser pemaknaan peran gender yang dulu dianggap baku.
Perempuan sebagai pemimpin baik dalam lingkup organisasi maupun lingkup Negara sudah banyak ditemui dan bahkan bisa diterima oleh masyarakat.
Argumen-argumen tafsir atas ayat sosiologis yang bersifat kontekstual dalam Alquran, cenderung dipatenkan menjadi ayat-ayat teologis yang bersifat absolut. Akibatnya, tidak ada lagi ruang gerak untuk melakukan interpretasi ayat.
Surat An-Nisa (4) : 34 merupakan salah satu ayat yang paling sering dijadikan legitimasi adanya perbedaan status maupun peran antara laki-laki dan perempuan, terutama tentang konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam.
Menilik kembali fungsi diturunkannya Alquran adalah sebagai pemberi rasa keadilan, rasa aman, dan prinsip-prinsip kesetaraan yang sering tertuang dalam ayat-ayatnya, sulit dipahami bahwa Alquran menganjurkan pernyataan sebaliknya.
Dalam surat An Nisa ayat 34 disebutkan,“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
Berdasarkan surah ini seolah-olah wanita tidak bisa jadi pemimpin dan banyak kalangan manusia yang menggunakan dalil ini sebagai alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin.
Pada dasarnya Allah SWT menciptakan hambanya, baik itu laki-laki maupun perempuan semata-mata bertujuan untuk mendarma-baktikan dirinya kepada yang Maha Kuasa yakni Allah SWT. Agama islam datang kemuka bumi ini membawa ajaran egaliter, yaitu memandang manusia itu secara setara atau sederajat, dengan tidak membeda-bedakan ras, kasta, jenis kelamin, jenis kulit, dll.
Dalam Islam yang membedakan seseorang dengan yang lain ialah kualitas ketakwaannya, kebaikannya selama hidup di dunia, dan warisan amal baik yang ditinggalkannya setelah meninggal. Ini sesuai dengan bunyi ayat yang dituangkan dalam Quran surah Al-Hujurat ayat 13.
Al-Quran memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin, sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada laki-laki. Faktor yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya kriteria untuk menjadi pemimpin.
Jadi, kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan, bahkan bila perempuan itu mampu dan memenuhi kriteria yang ditentukan, maka
ia boleh menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala negara). Contoh pemimpin wanita adalah Khodijah istri Rosul Aisyah ra (istri Rosulullaah), Fathimah (putri Rosullullaah), Ratu Bilqis, Cut Nyak Dien, R.A. Kartini.
Tidak Ada Pembatasan
Berdasarkan konsep di atas, tidak ada satu konsep pun dalam al-Quran yang membatasi perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkah didalam Al-Quran, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjadi pemimpin. Baik itu untuk laki-laki maupun perempuan.
Islam memberikan peluang besar kepada perempuan untuk berkarir agar tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat, artinya ia harus punya bekal ilmu untuk mendidik putra dan putri menjadi muslim sejati.
Islam menghendaki agar kaum perempuan dapat mengetahui hak dan kewajibannya, memahami tuntunan Islam dengan sempurna, cara-cara mendidik yang baik, melaksanakan mu’ammalah dengan ketentuan yang telah diatur sedemikian rupa, bersikap dan bekerja sesuai dengan kodrat keperempuanannya sehingga dapat mengantar mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dengan demikian, Islam tidak pernah membeda-bedakan antara laki- laki dan perempuan, baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan kesempatan untuk berkarya.
Dari firman di atas sudah jelas sekali, bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin. Baik itu laki-laki maupun perempuan .Akan tetapi, pemimpin disini memiliki banyak makna dan cakupan yang luas.Bisa saja kita seorang perempuan menjadi pemimpin pemerintahan, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan kalau bisa menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri.
Dikuatkan dengan hadist yang menyatakan “Masing-masing kamu adalah pemimpin. Dan masing-masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (Hadits Riwayat Ibn Abbas).
Sejak abad 15 silam, Al-Quran telah menghapuskan berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, Al-Quran memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki. Diantaranya dalam masalah
kepemimpinan,
Kesimpulan.
Jika ditilik secara kontekstual baik ayat Al-qur’an dan hadis serta pendapat para jumhur tersebut, dapat dipahami bahwa Islam tidak melarang wanita menduduki suatu jabatan atau menjadi pemimpin dalam urusan umum.
Bahkan menjadi kepala Negara dan atau pemerintahan, dengan syarat sanggup melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu ayat dan hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal.
Seperti halnya dengan hadis tentang wanita menjadi pemimpin yang diriwayatkan oleh beberapa periwayat hadis, diantaranya; Imam al-Bukhari, Turmudzi, an-Nasa’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pada bagian lainnya, Al-Qur’an telah menyebutkan bahwasanya perempuan dan laki-laki setara derajatnya di hadapan Allah (Q.S. al-Hujurat (49): 13), (Q.S. an-Nahl (16): 97), perempuan dan laki-laki sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (Q.S. an-Nisa (4): 124), (Q.S. an-Nahl (16): 97). Perempuan dan laki-laki sama-sama diperintah untuk berbuat kebajikan (Q.S. at-Taubah (9): 71).
Dari ayat-ayat dan hadis sebagaimana yang diurai di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang memuliakan perempuan dan mensejajarkannya dengan laki-laki.
Oleh karena itu, pelu mengkontekstualisasikan kerelevanan antara ayat dan hadits tersebut dengan realita yang ada pada zaman sekarang. Tentu realita kehidupan pada zaman Nabi Muhammad saw dengan zaman sekarang memiliki perbedaan yang cukup jauh, terlebih mengenai permasalahan wanita.
Dapat diketahui bahwa wanita zaman sekarang memiliki kemampuan yang hampir sama dengan laki-laki. Sekalipun secara fisik dan psikis tentu memiliki perbedaan sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 34;
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita. Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [QS. an-Nisa’ (4): 34]
Akhir Kalam
Perlu diketahui juga bahwa sifat kepemimpinan pada masa sekarang adalah kolektif kolegial, yaitu melibatkan banyak orang dalam satu pemerintahan. Sehingga seorang perempuan yang menjadi pemimpin, misalnya, tidak harus mengurus semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan, karena hal ini akan terasa sangat berat. Ia bisa secara bersama-sama bekerja dengan orang yang terlibat di dalamnya untuk mengurus kepentingan rakyat.
Sebagai akhir kalam, laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk melakukan kebaikan (amal shalih). Karena keduanya bertanggung jawab untuk memerintahkan kebajikan dan mencegah kemunkaran. Hanya saja, keterlibatan seorang perempuan dalam ranah publik (menjadi pemimpin) terlebih dahulu harus memperhatikan dan melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya,Wassalam.(pembelanew.com)