Opini  

Di Tahun 2025, Akan (kah) Dana Desa Masih Rawan Di Korupsi ?

Editor :Nurzaman Razaq (foto ist)

SINJAI, PEMBELANEWS.COM – Karena dianggap dana desa belum dikelola sesuai standar serta lemahnya pengawasannya, berdampak menimbulkan kerawanan dikorupsi. Sehingga Pemerintah memandang penting merevisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

“Namun dengan direvisinya Undang-Undang Desa itu, justru dapat memunculkan polemik terkait pengelolaannya. Sebab, selama ini dana desa belum dikelola secara optimal sehingga kerap disalahgunakan, baik oleh kepala desa maupun perangkat desa,” ungkap Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Johermansyah, mengutip kompas (03/01/2025).

Hal senada diungkapkan Direktur Lembaga Penguatan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAPPERMA), Musaddaq berharap bagi Desa yang menerima alokasi kinerja lebih termotivasi membangun desa, dan menggunakan untuk kepentingan Desa yang lebih produktif untuk mengatasi kemiskinan ekstrem.

“Dana tersebut jangan dikorupsi, dan harus digunakan membangun desa serta menyejahterakan masyarakat,” tegas Musaddaq, Rabu (1/1/2025) kepada Sinjai.Info,

Gunakan Dana Desa Sesuai Peruntukannya
Sementara itu, Penjabat (Pj) Bupati Sinjai, Andi Jefrianto Asapa, saat memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) Pelaksanaan APBDesa yang dirangkaikan dengan Optimalisasi Penerapan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes) Online di Ruang Pola Kantor Bupati, Selasa (21/01/2025) meningatkan seluruh Kepala Desa (Kades) agar menggunakan anggaran di desa sesuai peruntukannya.

“Anggaran di desa harus dipergunakan sesuai peruntukannya, lebih terarah serta tepat sasaran. Sehingga seluruh aparat desa agar memahami dan menaati regulasi yang berlaku dalam pengelolaan keuangan desa

 “Pemerintah desa harus bisa menekankan prinsip efektif, efisien, akuntabel dan transparan dalam tata pemerintahan, termasuk dalam hal pengelolaan keuangan,” tambah Pj Bupati.

Rakor ini yang dihadiri Asisten, Staf Ahli Bupati, para Kepala OPD Pemkab Sinjai, Pimpinan Bank Sulselbar Sinjai, para Camat, dan para Kepala Desa berserta stafnya, dilaksanakan untuk memastikan pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Sinjai berjalan sesuai aturan dan tepat sasaran.

Satu Dekade Dana Desa

Mengutip sumber dari berbagai media menyebutkan, sejak diperkenalkan pada 2014, program Dana Desa diharapkan menjadi instrumen kebijakan yang revolusioner untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia.

Dengan alokasi dana yang signifikan—sejak 2015 hingga 2024, pemerintah telah menggelontorkan lebih dari Rp 400 triliun—program ini bertujuan mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan di tingkat desa.

Namun, setelah satu dekade berlalu, muncul pertanyaan kritis: apakah dana tersebut benar-benar mencapai tujuan mulianya, ataukah janji-janji tersebut terkikis oleh korupsi dan birokrasi yang merajalela?

Ketika Dana Desa pertama kali diluncurkan, banyak yang optimistis bahwa ini adalah langkah revolusioner untuk memperkuat pembangunan desa.

Namun, di balik pencapaian tersebut, terdapat realitas pahit yang sulit diabaikan: banyak proyek gagal, kualitas pembangunan buruk, dan dana yang tidak sampai kepada yang seharusnya. Penyebab utamanya? Korupsi dan birokrasi yang menghambat.

Birokrasi Yang Berbelit-Belit

Selain korupsi, birokrasi yang berbelit-belit juga menjadi penghambat besar dalam efektivitas Dana Desa. Banyak desa menghadapi kesulitan dalam proses pencairan dana akibat prosedur administratif yang kompleks dan lambat.

Kepala desa sering kali harus berhadapan dengan berbagai tingkatan birokrasi untuk mendapatkan dana, yang menyebabkan keterlambatan dalam pelaksanaan proyek.

Penelitian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2023 menunjukkan bahwa sekitar 35 persen dana desa yang dialokasikan setiap tahunnya mengalami keterlambatan pencairan, yang mengakibatkan penundaan dalam proyek-proyek pembangunan.

Selain itu, birokrasi yang rumit juga menyebabkan alokasi dana sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan nyata desa. Perencanaan yang dilakukan lebih berfokus pada kepatuhan prosedural daripada pada kebutuhan masyarakat.

Akibat dari korupsi dan birokrasi yang buruk, banyak proyek yang seharusnya membawa manfaat besar bagi masyarakat desa menjadi tidak efektif. Infrastruktur yang dibangun sering kali berkualitas rendah dan tidak tahan lama, sehingga tidak memberikan dampak jangka panjang yang diharapkan. Misalnya, jalan desa yang dibangun dengan Dana Desa di beberapa daerah sering kali rusak hanya dalam beberapa bulan setelah pembangunannya.(pembelanews.com)